Rabu, 18 Mei 2011

dampak perubahan iklim bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman

dampak perubahan iklim bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
Oleh: Magfira Syarifuddin

Pendahuluan
Atmosfir tersusun dari tiga komponen utama, yaitu udara kering, uap air dan aerosol. Beberapa jenis gas di atmosfir dari komponen udara kering, seperti CO2, CH4, dan N2O mempengaruhi iklim permukaan bumi karena kemampuannya dalam membantu proses transmisi radiasi dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Peningkatan konsentrasi dari gas-gas tersebut di atmosfer dapat menyebabkan radiasi yang dipancarkan dari permukaan bumi terhambat. Akibatnya adalah suhu permukaan bumi meningkat. Prediksi peningkatan suhu bumi bukanlah suatu hal yang mudah iklim di suatu daerah merupakan hasil interaksi dari proses-proses fisika dan mekanik yang saling berhubungan. Peningkatan suhu, akan menyebabkan peningkatan evapotranspirasi yang berdampak pada meningkatnya konsentrasi Kalau konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang uap air , H2O(gas).  Uap air juga merupakan gas penghambat keluarnya radiasi dari permukaan bumi), sementara di lain pihak keberadaan uap air tersebut juga menimbulkan umpan balik negatif karena peningkatan pertumbuhan awan, menyebabkan terhambatnya transmisi radiasi matahari ke permukaan bumi.


Estimasi kenaikan suhu terbaik saat ini adalah yang dihasilkan oleh General Circulation Models (GCM), kenaikan suhu 2.5 - 5.5 C diikuti dengan kenaikan laju sirkulasi hidrologi sebesar 5-15 % (IPCC, l996). Dampak Perubahan Iklim dengan demikian akan sangat mempengaruhi sektor pertanian. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) juga lebih lanjut memprediksi adanya kenaikan air laut sebesar 28-96 cm pada tahun 2090. Asia tenggara akan mendapat ancaman banjir terbesar karena umumnya, lahan pertanian di region ini terletak pada altitut (ketinggian) rendah.
Secara alamiah, iklim sebagai suatu sistem dinamis secara gradual mengalami perubahan (climate change) dan penyimpangan (climate deviation) yaitu El nino dan La nina atau kondisi ekstrim hujan di bawah dan di atas rata-rata normal. Hasil penelitian penelitian di 13 Stasiun Klimatologi, Litbang Deptan menunjukkan adanya perubahan iklim global di Indonesia yang ditandai dengan terjadinya peningkatan jumlah curah hujan di wilayah timur Indonesia, diikuti oleh peningkatan suhu siang dan malam hari, sementara di wilayah barat Inonesia terjadi fenomena sebaliknya di mana terjadi penurunan curah hujan. Penyimpangan iklim yang terjadi di Indonesia juga semakin nyata, yang terlihat dari makin cepatnya periode El-Nino dan La Nina menerpa Indonesia, yang semula terjadi untuk 5-6 tahun sekali, menjadi 2-3 tahun sekali atau dengan perkataan lain, 86% kejadian La-Nina selalu diikuti oleh El-Nino (Syahbuddin et al.  2002).

Perubahan iklim dengan demikian akan memberikan dampak yang sangat besar bagi sector pertanian di Indonesia, khususnya Nusa Tenggara Timur. Makalah ini akan mendiskusikan tentang bagaimana dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman pertanian serta dampaknya di sektor peternakan. Karena perubahan iklim berdasarkan GCM dan prediksi IPCC menekankan pada tiga hal utama yaitu peningkatan CO2 yang berdampak pada peningkatan suhu dan siklus hidrologi, maka fokus utama dari kajian makalah ini akan membahas tiga hal yaitu: (1) Dampak peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (2) Dampak peningkatan suhu terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, (3) Dampak perubahan siklus hidrologi terhadap produksi pertanian. Karena NTT merupakan propinsi dengan tingkat produktivitas ternak yang cukup tinggi, maka makalah ini pun akan menjelaskan bagaimana dampak peningkatan CO2 dan suhu terhadap produktivitas ternak.
Respon tanaman terhadap peningkatan CO2

Gas CO2 merupakan sumber karbon utama bagi pertumbuhan tanaman. Konsentrasi CO2 di atmosfir saat ini belum optimal, sehingga penambahan CO2 kepada tanaman di dalam industri pertanian di dalam rumah kaca merupakan kegiatan normal untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti tomat, selada, timun dan bunga potong.

Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah meningkatnya laju assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk membentuk karbohidrat,fotosintesis) di dalam daun. Efisiensi penggunaan faktor-faktor pertumbuhan lainnya (seperti radiasi matahari, air dan nutrisi) juga akan ikut meningkat.
Selain pengaruh positif terhadap proses fotosintesis, kenaikan CO2 juga akan mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman. Stomata mempunyai fungsi sebagai "pintu gerbang" masuknya CO2 dan keluarnya uap air ke/dari daun. Besar kecilnya pembukaan stomata merupakan regulasi terpenting yang dilakukan oleh tanaman, dimana tanaman berusaha memasukkan CO2 sebanyak mungkin tetapi dengan mengeluarkan H2O sesedikit mungkin, untuk mencapai effisiensi pertumbuhan yang tinggi. Jika CO2 di atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk mencapai konsentrasi CO2 optimum di dalam daun, sehingga laju pengeluaran H2O dapat dikurangi. Dengan kondisi tersebut maka laju pembentukan biomassa akan meningkat Kimball (l983) memperoleh 40 % kenaikan biomasa pada tanaman C3 dan 15 % pada tanaman C4.

Hubungan Suhu dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman

Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang diterima di permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, kandungan lengas tanah Umumnya laju metabolisme makhluk hidup akan bertambah dengan meningkatnya suhu (Q10) hingga titik optimum tertentu. Beberapa proses metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia, menurunnya aktifitas enzim (enzim terdegradasi)

Pengaruh peningkatan suhu dapat mengurangi atau bahkan mengurangi dampak positif yang diberikan dari meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir. Peningkatan suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat hilangnya kandungan lengas tanah (kadar air tanah) akibat evaporasi. Hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pada daerah yang lengas tanahnya terbatas.

Setiap tanaman memiliki suhu dasar (Tb) yang merupakan suhu minimum bagi tanaman untuk bermetabolisme. Besaran suhu dasar ini akan mempengaruhi besarnya Thermal unit yang diperlukan oleh tanaman untuk melewati setiap fase perkembangannya. Hubungan antara thermal unit dengan suhu lingkungan adalah berbanding lurus sementara berbanding terbalik dengan umur tanaman. Artinya semakin tinggi suhu, maka umur tanaman akan semakin pendek yang akhirnya berdampak pada waktu penumpukan fotosintat dan pembentukan biomassa yang lebih rendah.

Dampak Perubahan Siklus Hidrologi

Perubahan siklus hidrologi terutama ditunjukkan oleh periode La Nina dan El Nino yang semakin sering. La Nina merupakan fenomena alam yang ditandai dengan kondisi suhu muka laut di perairan Samudra Pasifik ekuator berada di bawah nilai normalnya (dingin), sementara kondisi suhu muka laut di perairan Benua Maritim Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat). Kondisi suhu muka laut di samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara tinggi, sementara kondisi hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah barat pasifik menimbulkan tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan mengalirnya massa udara dari pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran tersebut mendorong terjadinya konvergensi massa udara yang kaya uap air. Akibatnya semakin banyak awan yang terkonsentrasi dan menyebabkan turunnya hujan yang lebih banyak di daerah tersebut (lebih dari 40 mm/bulan di atas rata-rata Normalnya). Kebalikan dari La Nina adalah El Nino ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menghangat dan menyebabkan terjadinya  musim kemarau yang kering dan panjang di Indonesia. Penurunan curah hujan pada saat El Nino dapat mencapai 80 mm/bulan (Boer 2002).

Secara meteorologis kejadian La Nina dan El Nino ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan anomali suhu permukaan laut di Samudra Pasifik (ASST). Nilai SOI bervariasi menurut bulan atau dalam periode waktu yang lebih singkat akibat perubahan perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pada peristiwa La Nina, nilai SOI meningkat di atas kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian El Nino. Sementara nilai ASST negatif menunjukkan terjadinya La Nina sebaliknya ASST positif mengindikasikan El Nino.

Pada tahun El-Nino 1991, 1994, 1997 dan 2003 luas pertanaman tanaman padi telah mengalami kekeringan berturut-turut seluas 868 ribu ha, 544 ribu ha, 504 ribu ha dan 568 ribu ha dengan luasan gagal panen (puso) masing-masing seluas 192 ribu ha (22%), 161 ribu ha (30%), 88 ribu ha (18%) dan 117ribu ha (21%) (Jasis dan Karama, 1998). Demikian pula di Kabupaten Kupang, Statistik pertanian Departeman Pertanian (1990-2009) menunjukkan hubungan antara penurunan luas panen tanaman pangan dengan El Nino. Rata-rata produktivitas jagung dan padi mengalami penurunan masing-masing sebesar 42 dan  20  % dari rata-ratanya setiap kejadian El Nino.
Sedangkan La Nina menyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir, dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit. La Nina menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang disukai oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah rawan banjir, kehadiran La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman. Pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa. La-Nina 1988, 1995 dan 2000 luas daerah yang mengalami banjir dan genangan berturut-turut mencapai 130 ribu ha, 218 ribu ha dan 244 ribu ha dengan luasan gagal panen (puso) masing-masing seluas 29 ribu ha (22%), 47 ribu ha (22%) dan 59 ribu ha (24%). Menurut Jasis dan Karama (1998) penurunan luas panen karena kekeringan tersebut mengakibatkan penurunan produksi atau kehilangan hasil pada tahun 1991 diprakirakan mencapai 1,455 juta ton GKG atau setara dengan 0,873 juta ton beras, sedangkan pada tahun 1994 dan 1997 menyebabkan kehilangan hasil 640 ton GKG, sedangkan banjir menyebabkan kehilangan hasil sebesar 214 ton GKG per tahun. Sementara banjir menyebabkan kehilangan hasil sebesar 214 ton GKG per tahun (Jasis dan Karama, 1998).

Respon Ternak terhadap Perubahan Iklim

Dampak perubahan iklim disektor peternakan dapat di kelompokkan menjadi dua yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung dapat berupa rentannya ternak terkena penyakit atau perubahan tingkah laku ternak sebagai bentuk adaptasi yang akhirnya berdampak pada penurunan produktivitas. Dampak tidak langsung berupa terganggunya ketersediaan pakan baku pakan yang sebagian besar bersumber dari hasil pertanian.
Dampak langsung berupa kerentanan ternak terhadap hama penyakit terutama terjadi pada kondisi La Nina ketika curah hujan dan kelembaban tinggi. Subsektor perunggasan misalnya menghadapi berbagai gejala serangan penyakit unggas selama tahun La Nina 2010-2011 antara lain: Newcastle Disease (ND), Chronic Respiratory Disease (CRD), Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD), Infectious Laryngotraechitis (ILT) dan AI (Avian Influenza/flu burung), bahkan sudah terbukti menampakkan aktivitas serangannya sepanjang tahun 2010 ini (Majalah Poultry Indonesia Online, Mei 2011)

Dampak langsung berupa perubahan tingkah laku ternak, erat hubungannya dengan peningkatan suhu. Tingkat adaptasi hewan terhadap perubahan suhu didasarkan atas wilayah thermoregulasi. kisaran Thermonetral terdiri atas tiga sub daerah yaitu sub daerah optimum, sub daerah dingin dan sub daerah hangat. Sub daerah optimum merupakan daerah yang paling optimum untuk menampilkan produktivitas ternak Misalnya bagi sapi perah dewasa berkisar antara 0 -  16 C. Daerah dingin merupakan daerah dengan produksi panas tetap normal, ternak melakukan penyesuaian dengan tingkah laku atau mekanisme otomatik untuk menghasilkan panas tubuh dalam rangka mengimbangkan dengan kondisi yang mulai dingin bagi ternak. Daerah hangat merupakan daerah dengan produksi panas minimal, namun mekanisme termoregulasi mulai bekerja dengan cara meningkatkan vasodilitasi dan meningkatkan evaporasi untuk membuang panas. Suhu tubuh ternak akan meningkat bila suhu udara di atas suhu kritis (UCT), sehingga terjadi peningkatan produksi panas sebagai akibat dari usaha membuang tambahan beban panas dari luar tubuh.

Thermoregulasi merupakan suatu sistem pada hewan untuk mengatur suhu tubuhnya agar tetap konstan terhadap suhu lingkungan yang berubah-ubah yang ditempuh dengan cara mengimbangkan antara perolehan panas (heat production dan panas lingkungan) dan pelepasan panas (heat loss) yang dirumuskan oleh Wilson (1979) dalam Santoso (1996) sebagai berikut:

M = Ev ± R ± Kd ± Kv

M = perolehan panas yaitu panas metabolik dan tambahan panas dari luar tubuh, Ev merupakan pelepasan panas melalui penguapan (Evaporasi), R = perolehan/pelepasan panas melalui radiasi, Kd adalah perolehan/pelepasan panas melalui konduksi, dan Kv = perolehan/pelepasan panas melalui panas konveksi.

Produksi panas tubuh berlangsung secara terus-menerus di dalam protoplasma dan terutama terjadi di dalam jaringan otot dan kelenjar. Perolehan panas dari luar tubuh akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi kehilangan panas tubuh bila suhu udara lebih rendah dari suhu nyaman.

Kesimpulan
Dampak perubahan iklim berupa peningkatan konsentrasi CO2 sebenarnya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman pertanian. Akan tetapi dampak ikutan berupa peningkatan suhu dan perubahan siklus hidrologi menyebabkan pengaruh positif tadi menjadi berkurang atau terhambat sama sekali. Demikian pula halnya di sektor peternakan, perubahan iklim dapat mengakibatkan ternak mengalami beberapa masalah antara lain rentan terhadap hama penyakit, terganggu proses fisiologisnya serta penurunan jumlah pakan tersedia.

Bibliografi:
Anonymous. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Usaha Perunggasan. Majalah Poultry Indonesia Online.  Mei 2011. http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News& file=article& sid=1513

Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim untuk Produksi Pertanian. Makalah disajikan pada pelatihan dosen perguruan tinggi se Indonesia Barat dalam bidang pemodelan dan simulasi pertanian dan lingkungan. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB : Bogor 1 – 13 Juli 2002.

IPCC. l996. Climate change l995 : The science of climate change. Cambridge University Press.

June, T. 2000. Kenaikan CO2 Dan Perubahan Iklim : Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Kimball, B. A.. l983. Carbon dioxide and agricultural yield: An assemblage and analysis of 430 prior observations. Agron. J. 75:779-788.

Jasis dan A.S. Karama.  1998.  Kebijakan Departemen Pertanian Dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim.  Prosiding Stategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La Nina dan El-Nino.  Kerjasama PERHIMPI dengan Jurusan GEOMET-IPB Puslittanak dan ICSEA.

Santoso A, B. 1996. Pengaruh Lingkungan Mikro terhadap respons Fisiologis Sapi Dara Pernaan Fries Holland. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.


*makalah disajikan dalam diklat penyuluh pertanian se Indonesia Timur dalam rangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor Pertanian, Kementerian Pertanian Indonesia, Kupang 28 April - 5 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar